Oleh: Toto Tasmara
Sudah
menjadi aksioma, apabila budaya kebendaan telah merasuki peradaban, seringkali
diiringi pula dengan semakin menipisnya nilai-nilai moral. Kehidupan manusia
dipilah-pilah berdasarkan keriteria kekayaan dan jabatan kekuasaan, sehingga
kita mengenal ada kelas ekonomi, bisnis, dan VIP alias manusia sangat penting.
Kita
seakan dipojokkan pada situasi tanpa pilihan, menjadi piranti kehidupan yang
harus menerima, seraya menampilkan sosok manusia bendawi! Tahta, harta, dan
wanita menjadi aksesoris kemewahan, sebuah mata rantai yang tidak terpisahkan
untuk mereguk kenikmatan bendawinya tersebut. Bagi mereka hidup adalah pesta,
sanjungan, dan hura-hura. Persaingan sehat menjadi utopia dan khayalan. Moral dan
etika semakin temaram dan kemudian lindap.
Mereka
terlena dari zikir, mabuk kepayang dibius hawa nafsu. Mempertontonkan kemewahan
di tengah-tengah jeritan kemiskinan. Menunjukkan arogansi kekuasaan di hadapan
orang-orang yang telah terampas hak asasinya.
Dalam
situasi seperti itu, para mujahid dakwah harus tampil ke depan untuk memberikan
pelita kebenaran, mengingatkan dan mengajak mereka untuk tetap hidup sebagai
manusia yang sederhana. Hidup bukanlah untuk menumpuk harta sehingga tidak
produktif, tetapi justru menjadikan harta yang kita miliki mengalir dan beredar
menjadi aset masyarakat, dan membersihkannya melalui Baitul Maal yang
amanah. Sabda Rasulullah SAW, “Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda
yang dimiliki, tetapi kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari)
Sayidina
Ali menyatakan, “Kalau engkau ingin menjadi raja, maka pakailah sifat qona’ah
(puas). Kalau engkau ingin surga dunia sebelum surga akhirat pakailah budi pekerti
yang mulia.”
Dalam
satu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda: Tuhanku telah menawarkan kepadaku
untuk menjadikan lapangan di kota Mekah menjadi emas. Aku berkata, “Jangan
Engkau jadikan emas wahai Tuhanku! Tetapi, cukuplah bagiku merasa kenyang
sehari, lapar sehari. Apabila aku lapar, maka aku dapat menghadap dan
mengingat-Mu, dan ketika aku kenyang aku dapat bersyukur memuji-Mu.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi)
Ucapan
baginda Rasul tersebut merupakan salah satu mutiara akhlakul karimah
yang disebut dengan qona’ah. Yaitu sikap menerima apa yang ada, sambil
terus ikhtiar, sabar, dan tawakal, serta waspada agar tidak terperangkap oleh segala macam godaan yang menyesatkan
serta tipu daya setan yang selalu menyelusup di hati manusia.
Kita
harus menjadi orang-orang yang kaya tetapi qona’ah. Kita harus tampil
sebagai bangsa yang besar di mana sebagian besar pemimpinnya adalah sosok
manusia yang tampil sebagai uswatun khasanah dan bersikap hidup
sederhana.
Menjalani
hidup bersama dengan orang miskin walaupun kita kaya, mendengarkan jeritan kaum
dhuafa dan hidup sederhana walaupun kita mampu, adalah ciri pemimpin
yang qona’ah. Itu semua karena kita sadar bahwa sederhana itu indah! [*]
*Dikutip
dari buku SEDERHANA itu Indah terbitan Republika.
Kampung
Sepuluh
Cairo, 23 Oktober 2012