Filosofi Mahar

“Sebaik-baik wanita adalah yang elok parasnya lagi murah maharnya.”

Bagaimana mungkin seorang wanita cantik murah maharnya? Bukankah kemolekan paras membuat para lelaki terpesona, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mempersuntingnya?

***
Murahnya mahar bukan berarti rendahnya harga diri seorang wanita. Tetapi justru sebaliknya. Ini mencerminkan tingginya budi pekerti serta agamanya. Karena dia sadar, bahwa hakikat pernikahan adalah pertautan dua hati dan jiwa (suami-istri) dalam sebuah ikatan suci. Bukan transaksi jual-beli antara penjual dan pembeli. Sebaliknya, wanita pandir akan selalu melipat gandakan mahar sesuai dengan kadar kecantikannya. Karena dia mengukur segala sesuatu hanya dengan materi (harta).

Mas kawin (mahar) yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita ketika akad ijab-qabul hanyalah sebuah “sedekah pernikahan”. Sedangkan hakikat mahar yang sesungguhnya adalah apa yang akan diberikan oleh seorang suami kepada istri setelah menikah—berupa cinta dan kasih sayang—dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dengan demikian, maharnya (baca: cinta dan kasih sayang) tidak akan pernah habis atau berkurang seiring berjalannya waktu. Bahkan akan terus bertambah dari hari ke hari. Berbeda dengan nominal uang, akan cepat habis jika dibelanjakan.

Dalam hal ini Rasulullah SAW telah memberikan teladan kepada umat Islam. Beliau selalu membayar mahar yang murah kepada para istrinya. Adakalanya berupa uang 10 Dirham ditambah dengan beberapa perabot rumah tangga: bejana air, bantal, atau 2-3 mud gandum. Hal ini bukan berarti beliau miskin. Tetapi agar menjadi pelajaran bagi kita.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Rasulullah tidak pernah menikah atau menikahkan salah satu putrinya dengan mahar lebih dari 400 Dirham. Jika saja meninggikan mahar dianjurkan dalam Islam (terpuji), nicsaya beliau akan melakukannya.”

***
Di akhir catatan singkat ini, mari kita sama-sama mengambil hikmah dan pelajaran. “Jangan sampai kita terbelenggu oleh tradisi yang berkembang di masyarakat. Jika agama Islam memberikan kemudahan bagi umatnya, kenapa kita harus mempersulit. Jika Allah dan Rasul-Nya memberikan keringanan, mengapa seorang istri atau wali harus memberatkan.” []




Kampung Sepuluh
Cairo, 18 Agustus 2012